Sendiri

Disini kududuk sendiri

menanti pagi yang tak pernah mati

Terkenang…bayang wajahmu

Terlelap di bawah bintang semu

Secercah asa, yang selalu terasa

Terkulai lemah, berharap buai

Terjerat hangat mentari, waktu sepi

Tak pernah mati, tak abadi

Aku masih disini, sendiri

Mendengar angin berbisik, merasa terusik

Semut berbaris, dan menangis

Anjing jalanan, kesepian

Kisah yang tertulis dengan tinta putih

tak pernah terjadi, tak ingin kualami

Hidup hampa yang terbuai oleh satu kata

Cinta…

Maaf. itu kata untuk hati

yang meminta, merintih, memohon sebuah hati

“Salah sendiri kenapa kemari?”

Kediri seorang penyendiri

Disini aku terus menanti.


Maaf

Sayang…

Maaf jika untai kataku buraikan mimpi kita

Aku ingin jujur tentangnya

Seorang yang datang saat kau ada

Saat ku bermuka dua dan berbagi cinta

Aku tersadar

Sayang…

Ini bukan salahku dan salahmu

Kuhanya melanjut hidup yang tergaris didahiku

Hidup yang mengantarku padamu dan dia

Ia sungguh sederhana

Ia beri angin sayapku tuk mengepak tanpa minta dahan tuk balasan

Ia beri telinga saat kuingin berbagi tentang segala yang kulalui hari ini

Ia beri aku bicara yang bisa tenangkan badai samudra

Ia beri aku perlindungan hanya dengan sejumput senyuman

Semua ada saat kau berkubang dalam harimu yang perlahan membenam hadirku

Ya, aku tlah berkhianat padamu

Kubagi cinta yang dulu sepenuhnya mulikmu

Kini kuingin jujur padamu

Dia telah ambil tempat dihatiku dan mensemayamkan dirimu

Maaf…


Aku… Akan Menunggumu…

Ingin ku segera memelukmu…

Membawamu tuk iringi langkahku…

Namun tak berhak aku…

Dan takkan kupaksakan itu…

Kau masih belum milikku…

Belum jadi kekasihku…

Dan ku belum jadi bagian hidupmu…

Belum jadi satu yang selalu mengisi hatimu…

Meski terasa lelah aku bertahan…

Aku akan terus menahan…

Segala kerinduan…

Dan hasrat yang tak terucapkan…

Kau bagai bulan…

Bersinar terangi gelap malam…

Terlihat oleh mataku tanpa penghalang…

Namun kau sulit tergapaikan…

Tapi aku pasti bertahan…

Karena kau tlah memberiku harapan…

Akan cintamu yang hampir mustahil tergapaikan…

Meski kutahu tak semudah itu tuk menggapaimu…

Karena yang inginkan kau bukan hanya aku…

Engkau putri raja yang didamba…

Banyak yang pangeran dan kesatria yang mencoba menggapaimu…

Sedangkan aku hanya prajurit tak bernama bagimu…

Ya… Aku memang prajurit tak bernama…

Tak sekuat kesatria…

Tak semenawan pangeran…

Hanya seorang pemimpi dengan sepenggal puisi saja…

Namun aku pasti menunggumu…

Menunggu jawaban dari cintaku…

Meski lelah aku…

Meski tipis harapanku…

Aku pasti kan menunggumu…


Bulan Di Air

Sahabat...
Pada suatu ketika kita beriringan berbual mesra
Berbicara soal impian dan harapan
Berlagu melodi riang dan ceria
Menangisi perit dan derita

Bersama, kita mengejar dan menggapai bintang di langit
Yang tidak pasti akan menjadi milik kita
Walaupun ia tidak tergapai
Kita masih memegang utuh tali impian
Agar tidak terlepas dari genggaman

Perjalanan kita masih jauh
Menjadi harapan keluarga, nusa dan bangsa
Pernah kita mencipta impian untuk menggapai kejora bersama
Melangkah ke arah kejayaan bersama
Menghadapi rintangan yang datang
Pernah juga kita berbicara soal cinta
Soal pasangan igauan
Bagaimana menempuh alam dewasa
Yang tenyata cukup berliku

Andai kita tersungkur layu
Masih diharap sokongan bersama
Agar kembali berdiri teguh

Kita umpama pohonan kayu
Bersaingan mencambah daun menghijau
Mengharap sinaran cahaya
Namun masih berkait lengan
Menuju ke puncak bersama

Kini impian yang dahulunya bagai bulan dan bintang
Kian terdampar di lelangit bumi
Tali yang digenggami kian longgar
Menunggu waktu dilepaskan
Pohonan kayu yang utuh kian rapuh
Tiada lagi bualan mesra, impian dan harapan, melodi ceria atau tangisan derita
Semuanya lenyap...bagai bulan di air...


Hujan

Dulu
Aku selalu duduk di serambi hatimu
Menunggu saat kau datang
Membawa sekeranjang angan indah
Untuk kurangkai
Membunuh sepi dan sedih

Aku selalu berdiri membilang hari
Menunggu putaran itu berhenti
Rindu untukmu hampir menggunung
Hingga aku bingung
Kemana harus kubuang rindu ini?
Lalu kuambil sepotong rembulan untukmu
Kuletakkan tepat disampingmu
Agar kau bisa membisikkan kata rindu untukku

Saat ku papah matahari
Yang sarat mengusung jutaan sakit
Bintang pula membuka percakapan
Tentang cinta tertunda
Tentang duka nestapa
Tentang segala di dunia
Yang sering mengundang sejuta resah

Saat aku mengusir kegelisahan didada
Giliran ribut menghias malammu
Bulan dan bintang harus diam

Walau aku takut barangkali
Kerana,
Tak lama lagi titik hujan
Bakal membeku dimataku

Kasihan....kau hujan
Kau beri pengkhianatan sejak pertama cinta terbaca
Dan kini mencuba tenangkan segala prasangka

Sejak itu
Aku belajar tak sekadar memaknai benci
Tapi,
tiada lagi bintang di sini
tiada lagi kau atau aku.